v5FccDc0nR3GALsLO2OtVYfSjeQ

Senin, 11 Juli 2011



 
TUANKU IMAM BONDJOL
Penentang Bid'ah, Panglima Perang Paderi, & Pahlawan Nasional
 ***************************************************************
TUANKU IMAM BONDJOL adalah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda dalam peperangan di tanah Minangkabau, terkenal dengan nama Perang Paderi, yang berlangsung dalam kurun waktu 1803-1838.
Ia dilahirkan di Tanjung Bunga, Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, pada 1772, dengan nama asli Muhammad Syahab. Semasa remaja, ia biasa dipanggil Peto Syarif. Setelah menuntut ilmu agama di Aceh (1800-1802), ia mendapat gelar Malim Basa.
Pada 1803, ia kembali ke Minangkabau dan berguru pada Tuanku Nan Renceh. Sebagai murid kesayangan Tuanku Nan Renceh, Malim Basa menimba banyak ilmu kanuragan dan ilmu perang dari Tuanku Nan Renceh.
Ketika itu, tengah berlangsung pertentangan hebat antara kaum ulama {kaum Paderi} dan kaum adat. Awalnya, pertentangan hanya melibatkan kaum adat dan kaum paderi namun belakangan kaum adat meminta bantuan kepada Belanda, karena kedudukan mereka semakin terdesak.
Berada di pihak Kaum Adat, Belanda membangun benteng di Batu Sangkar dan Bukit Tinggi guna memperkuat kedudukannya.
Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Paderi di Bondjol. Sejak saat itu, ia mendapat julukan Tuanku Imam Bondjol.  
Sebagai panglima perang Kaum Paderi, pada 1807, Malim Basa juga membangun sebuah benteng di kaki Bukit Tajadi untuk menghadapi pasukan kolonialis Belanda.
Tuanku Imam Bondjol memiliki banyak pengikut setia, yang membuat Belanda kewalahan. Apalagi, di saat bersamaan, Belanda juga terdesak dalam menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Akhirnya, memutuskan untuk Belanda “berdamai sementara” dengan Kaum Paderi dan mengalihkan kekuatannya di Pulau Jawa guna menghadapi Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Belanda kembali menyerang markas-markas pasukan Tuanku Imam Bondjol. Kewalahan menghadapi pasukan Tuanku Imam Bondjol yang gagah berani, Belanda menggunakan siasat-siasat licik selain mendatangkan balatentara tambahan.
Untuk menangkap Tuanku Imam Bondjol, Belanda memasang jebakan dengan cara menawarkan perundingan di sekitar Bukit Gadang dan Tujuh Lurah. Tuanku Imam Bondjol terperdaya oleh tipu muslihat Belanda, dan memenuhi tawaran itu. Akhirnya, di lokasi perundingan itu Tuanku Imam Bondjol ditangkap, persisnya pada 25 Oktober 1937.
Ia kemudian ditahan di Bukit Tinggi dan diasingkan ke  Cianjur, Jawa Barat, selanjutkan dipindahkan lagi ke Ambon, Maluku, dan terakhir di Manado, Sulawesi Utara. Tuanku Imam Bondjol wafat dalam pengasingan di Manado pada 6 November 1864, dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara.
Sebagai wujud penghargaan atas jasa dan perjuangan beliau menentang penjajahan, Pemerintah Republik Indonesia atas nama rakyat Indonesia, melalui Presiden HM Soeharto, menganugerahi gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Tuanku Imam Bondjol, melalui SK Presiden RI Nomor 087/TK/1973, bertanggal 6 November 1973.
Di samping itu, nama Tuanku Imam Bondjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.

oleh Hubert de Stuers (sekitar 1820)  


Perang Paderi
Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatik dalam memori bangsa. Selama sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah sesama orang Minang dan Mandailing atau Batak umumnya.
Latar belakang terjadinya peperangan ini didasari keinginan dari kalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam.
Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Paderi (penamaan bagi kaum ulama)dan Kaum Adat. Seiring dengan itu, beberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Paderi di bawah kepemimpinan Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan Pagaruyung pada 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, Kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan Kaum Paderi dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang.
Sebagai kompensasi, Hindia-Belanda mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Campur tangan Belanda dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema pada awal April 1821, atas perintah Residen James du Puy di Padang. Dalam hal ini kompeni melibatkan diri dalam perang karena "diundang" oleh kaum Adat.
Pasukan Kaum Paderi melawan dengan gagah berani sehingga sangat sulit dikalahkan oleh pasukan kompeni Belanda. Karena itu, Pemerintah Hindia-Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Paderi yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol untuk berdamai, dengan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Politik lembut (soft politic) Hindia Belanda itu terpaksa ditempuh mengingat di saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Namun, dengan liciknya, Belanda melanggar sendiri  perjanjian yang ditawarkannya itu, dengan  menyerang Nagari Pandai Sikek.
Akan tetapi, sejak awal 1833, perang berubah menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Paderi melawan Belanda.  Kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda. Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
Di ujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah {Adat berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)}.
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bondjol atas tindakan Kaum Paderi atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak, terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan benteng Kaum Paderi di Bondjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837), dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda.
Belanda menggunakan bangsa pribumi dari berbagai suku sebagai anasir pasukannya, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche (pribumi) seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Kartowongso Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Secara keseluruhan, terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura).
Serangan terhadap Benteng Bondjol dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan pertahanan Paderi.
Dari Batavia didatangkan juga tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli 1837, dengan Kapal Perle di Padang, dipimpin Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant, 4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang disebutkan belakangan adalah serdadu Afrika (dari Negara Ghana dan Mali) yang direkrut oleh Belanda dari Benua Hitam itu. Mereka juga disebut Sepoys dan berdinas dalam tentara Belanda.

Penangkapan dan pengasingan
Setelah balabantuan dari Batavia tiba, kompeni Belanda melanjutkan kembali pengepungan atas pasukan Bondjol, yang berada di dalam Benteng Bondjol.
Meskipun kondisi pasukannya makin terpojok, Tuanku Imam Bondjol tetap tidak sudi menyerah kepada kompeni Belanda. Perang terus berkecamuk, pasukan paderi terus melakukan perlawanan, sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda tiga kali mengganti komandan perangnya dalam upaya merebut negeri dan Benteng Bonjol.
Bondjol hanyalah sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bondjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Setibanya di lokasi,ia langsung ditangkap, dan langsung dikirim ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu, Tuanku Imam Bondjol meninggal dunia pada 6 November 1864, dan  dimakamkan di sana.► [Anis Fuadi, diolah dari berbagai sumber]

Sumber referensi:
{1} Mengenal Pahlawan Indonesia karya Arya Ajisaka, sebagaimana dikutip dari http://id.shvoong.com/humanities/history/2148238-biografi-pahlawan-nasional-tuanku-imam}.
{3}http://www.tokohindonesia.com





Tidak ada komentar:

Video Koleksi Distro Anak Negeri

Tshirt Anak Negeri Slideshow: Anis’s trip to Jakarta was created with TripAdvisor TripWow!