TUANKU IMAM BONDJOL
Penentang Bid'ah, Panglima Perang Paderi, & Pahlawan Nasional
***************************************************************
TUANKU IMAM BONDJOL adalah
seorang ulama,
pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda
dalam peperangan di tanah Minangkabau, terkenal dengan nama Perang Paderi,
yang berlangsung dalam kurun waktu 1803-1838.
Ia dilahirkan di Tanjung Bunga, Bonjol,
Pasaman, Sumatera Barat, pada
1772, dengan nama asli Muhammad Syahab. Semasa remaja, ia biasa dipanggil Peto Syarif. Setelah
menuntut ilmu agama di Aceh (1800-1802), ia mendapat gelar Malim Basa.
Pada 1803, ia kembali ke Minangkabau dan berguru
pada Tuanku Nan Renceh. Sebagai murid kesayangan Tuanku Nan Renceh, Malim Basa menimba
banyak ilmu kanuragan dan ilmu perang dari Tuanku Nan Renceh.
Ketika itu, tengah berlangsung pertentangan
hebat antara kaum ulama {kaum Paderi} dan kaum adat. Awalnya, pertentangan
hanya melibatkan kaum adat dan kaum paderi namun belakangan kaum adat meminta
bantuan kepada Belanda, karena kedudukan mereka semakin terdesak.
Berada di pihak Kaum Adat, Belanda membangun benteng
di Batu Sangkar dan Bukit Tinggi guna memperkuat kedudukannya.
Tuanku nan Renceh dari Kamang sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau
nan Salapan menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Paderi di
Bondjol. Sejak saat itu, ia mendapat
julukan Tuanku Imam Bondjol.
Sebagai panglima perang Kaum Paderi, pada
1807, Malim Basa juga membangun sebuah benteng di kaki Bukit Tajadi untuk
menghadapi pasukan kolonialis Belanda.
Tuanku Imam Bondjol memiliki banyak pengikut
setia, yang membuat Belanda kewalahan. Apalagi, di saat bersamaan, Belanda juga
terdesak dalam menghadapi pasukan Pangeran Diponegoro di Jawa.
Akhirnya, memutuskan untuk Belanda “berdamai
sementara” dengan Kaum Paderi dan mengalihkan kekuatannya di Pulau Jawa guna
menghadapi Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.
Setelah berakhirnya Perang Diponegoro,
Belanda kembali menyerang markas-markas pasukan Tuanku Imam Bondjol.
Kewalahan menghadapi pasukan Tuanku Imam Bondjol yang gagah
berani, Belanda menggunakan siasat-siasat licik selain
mendatangkan balatentara tambahan.
Untuk menangkap Tuanku
Imam Bondjol,
Belanda memasang jebakan dengan cara menawarkan perundingan di sekitar Bukit
Gadang dan Tujuh Lurah. Tuanku Imam Bondjol terperdaya oleh tipu muslihat
Belanda, dan memenuhi tawaran itu. Akhirnya, di lokasi perundingan itu Tuanku
Imam Bondjol ditangkap, persisnya pada 25 Oktober 1937.
Ia
kemudian ditahan di Bukit
Tinggi dan diasingkan ke Cianjur, Jawa
Barat, selanjutkan dipindahkan lagi ke Ambon, Maluku, dan terakhir di Manado,
Sulawesi Utara. Tuanku Imam Bondjol
wafat dalam pengasingan di Manado pada 6 November
1864, dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, Sulawesi Utara.
Sebagai wujud penghargaan atas jasa dan
perjuangan beliau menentang penjajahan, Pemerintah Republik Indonesia atas nama
rakyat Indonesia, melalui Presiden HM Soeharto, menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional Indonesia kepada Tuanku Imam Bondjol, melalui SK Presiden RI Nomor 087/TK/1973,
bertanggal 6 November 1973.
Di samping itu,
nama Tuanku Imam Bondjol juga hadir di ruang publik bangsa sebagai nama jalan,
nama stadion, nama universitas, bahkan pada lembaran uang Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia
6 November
2001.
oleh Hubert de Stuers (sekitar 1820)
Perang Paderi
Perang Paderi
meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatik dalam memori bangsa. Selama
sekitar 18 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang berperang adalah
sesama orang Minang dan Mandailing
atau Batak
umumnya.
Latar belakang terjadinya peperangan
ini didasari keinginan dari kalangan pemimpin ulama di Kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan
menjalankan syariat Islam
sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah (Sunni) yang berpegang
teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam.
Kemudian pemimpin ulama yang
tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk
mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa
kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam (Bid'ah).
Dalam beberapa perundingan tidak
ada kata sepakat antara Kaum Paderi (penamaan bagi
kaum ulama)dan Kaum Adat.
Seiring dengan itu, beberapa nagari
dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai
akhirnya Kaum Paderi di bawah kepemimpinan
Tuanku Pasaman menyerang Kerajaan
Pagaruyung pada 1815, dan
pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar.
Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan
diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari
1821, Kaum Adat secara
resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda
berperang melawan Kaum Paderi dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang.
Sebagai kompensasi, Hindia-Belanda
mendapatkan hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga
dinasti Kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah
berada di Padang
waktu itu.
Campur tangan Belanda
dalam perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh pasukan Kapten Goffinet dan
Kapten Dienema pada awal April 1821, atas perintah Residen James du Puy di
Padang. Dalam hal ini kompeni melibatkan diri dalam perang karena
"diundang" oleh kaum Adat.
Pasukan Kaum Paderi melawan
dengan gagah berani sehingga sangat sulit dikalahkan oleh pasukan kompeni
Belanda. Karena itu, Pemerintah Hindia-Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum
Paderi yang waktu itu dipimpin oleh Tuanku Imam Bondjol untuk berdamai,
dengan maklumat Perjanjian Masang pada 1824.
Politik lembut (soft politic) Hindia Belanda itu
terpaksa ditempuh mengingat di saat bersamaan Belanda juga kehabisan dana dalam
menghadapi peperangan lain di Eropah dan Jawa seperti Perang Diponegoro.
Namun, dengan liciknya, Belanda
melanggar sendiri perjanjian yang
ditawarkannya itu, dengan menyerang Nagari
Pandai Sikek.
Akan tetapi, sejak awal 1833, perang berubah
menjadi perang antara Kaum Adat dan Kaum Paderi melawan Belanda. Kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda.
Di ujung penyesalan muncul
kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau
itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan
adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang
mewujudkan konsensus Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah {Adat
berdasarkan Agama, Agama berdasarkan Kitabullah (Al-Qur'an)}.
Rasa penyesalan Tuanku Imam Bondjol
atas tindakan Kaum Paderi atas sesama orang Minang, Mandailing dan Batak,
terefleksi dalam ucapannya Adopun hukum Kitabullah banyak lah malampau dek
ulah kito juo. Baa dek kalian? (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?).
Penyerangan dan pengepungan
benteng Kaum Paderi di Bondjol oleh Belanda
dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837),
dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda.
Belanda menggunakan bangsa
pribumi dari berbagai suku sebagai anasir pasukannya, seperti Jawa, Madura,
Bugis,
dan Ambon.
Dalam daftar nama para perwira pasukan Belanda, terdapat Mayor Jendral Cochius,
Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Kapten MacLean, Letnan Satu Van der Tak,
Pembantu Letnan Satu Steinmetz. dan seterusnya, tetapi juga terdapat nama-nama Inlandsche
(pribumi)
seperti Kapitein Noto Prawiro, Inlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Kartowongso
Wiro Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, dan Merto Poero.
Secara keseluruhan, terdapat 148
perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1.103 tentara Eropa, 4.130 tentara pribumi, Sumenapsche
hulptroepen hieronder begrepen (pasukan pembantu Sumenep, Madura).
Serangan terhadap Benteng Bondjol
dimulai orang-orang Bugis yang berada di bagian depan dalam penyerangan
pertahanan Paderi.
Dari Batavia
didatangkan juga tambahan kekuatan tentara Belanda, yang tiba pada 20 Juli
1837, dengan Kapal Perle
di Padang, dipimpin Kapitein Sinninghe, sejumlah orang Eropa dan Afrika, 1 sergeant,
4 korporaals dan 112 flankeurs. Yang disebutkan belakangan adalah
serdadu Afrika (dari Negara Ghana
dan Mali)
yang direkrut oleh Belanda dari Benua Hitam itu. Mereka juga disebut Sepoys
dan berdinas dalam tentara Belanda.
Penangkapan dan pengasingan
Setelah balabantuan dari Batavia
tiba, kompeni Belanda melanjutkan kembali pengepungan atas pasukan Bondjol,
yang berada di dalam Benteng Bondjol.
Meskipun kondisi pasukannya makin terpojok, Tuanku Imam Bondjol tetap
tidak sudi menyerah kepada kompeni Belanda. Perang terus berkecamuk, pasukan
paderi terus melakukan perlawanan, sampai-sampai Pemerintah Hindia Belanda tiga
kali mengganti komandan perangnya dalam upaya merebut negeri dan Benteng Bonjol.
Bondjol hanyalah sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah
liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus
1837, Benteng Bonjol dapat
dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada Oktober 1837, Tuanku Imam Bondjol diundang ke Palupuh
untuk berunding. Setibanya di lokasi,ia langsung ditangkap, dan langsung dikirim
ke Cianjur,
Jawa Barat.
Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat
terakhir itu, Tuanku Imam Bondjol meninggal dunia pada 6 November
1864, dan dimakamkan di sana.► [Anis
Fuadi, diolah dari berbagai sumber]
Sumber referensi:
{1}
Mengenal Pahlawan Indonesia karya
Arya Ajisaka, sebagaimana dikutip dari http://id.shvoong.com/humanities/history/2148238-biografi-pahlawan-nasional-tuanku-imam}.
{3}http://www.tokohindonesia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar